Jenis-Jenis Sastra Lisan Sumbawa
1.
Lawas
Etnis
Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi
lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi
bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan
dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai
budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas ini dibagi menjadi beberapa
macam:
1.1
Lawas Ulan
Lawas Ulan adalah Lawas yang disampaikan berdasarkan konsep
kewaktuan. Lawas Ulan tidak boleh diucapkan sembarangan, sebab untuk memulai
Lawas Ulan menggunakan penanda waktu. Penanda waktu dapat diperhatikan pada saat
Lawas mulai tembangkan. Penanda waktu itu bukan berdasarkan jam, sebab jam pada
saat itu di Sumbawa. Penanda waktu yang digunakan adalah berupa keadaan, waktu
pagi hari, siang, sore, dan malam hari.
Penanda waktu yang dimaksud adalah sebagai berikut: Ta Pola
Adal Nenrang Jong. Kata yang bergaris bawah di samping adalah penanda waktu.
Adal dalam bahasa Indonesia adalah embun atau kabut.
Lawas Ulan ano Siup dan ano rawi memiliki perbedaan.
Perbedaan antara Lawas ulan ano Siup dan ano rawi terletak pada irama dan tempo
lagunya. Lawas ulan di ano Siup iramanya agak mengalun dengan tempo yang
lambat, sedangkan Lawas ulan di ano rawi irama alunannya tinggi dengan tempo
yang dinamis.
a.
Lawas Ulan
Siup
Lawas ulan Siup adalah Lawas yang disampaikan pada pagi hari dengan
menggunakan irama dan tempo lagu yang lembut. Lawas ini biasanya disampaikan
saat para petani akan berangkat ke sawah/lading atau saat orang-orang sedang
menanam padi atau menuai padi secara beramai-ramai di pagi hari sekitar pukul
08.00-10.00 Wita. Berikut ini Lawas ulan Siup. Permulaan Lawas Ulan Siup selalu
menggunakan Lawas berikut dan Lawas berikut selalu dimulai oleh laki-laki.
Contoh :
Yamubuya Ijo Godong
Puin Palemar Parai
Ta Pola Adal Nenrang Jong
Aku si Datang Nenrang Jong
Lamin Tenrang Baeng Desa
Pitu Ten Nosi Kumole
Artinya :
Kau cari si hijau
daun.
Pohon yang penuh
dengan air.
Ini karena embun
yang menetes
Aku yang datang
menetes.
Bila ramah seisi
kampung.
Tujuh tahun tak
kupulang.
Setelah dua bait Lawas di atas, maka Lawas selanjutnya bisa
apa saja tergantung situasi dan kondisi emosi dan perasaan si pelantun Lawas.
Perhatikan syair Lawas Ulan berikut:
Kakendung Ling Kuandi E
Kupina Pangasa Kau
No Tutu Sai Yabola
Artinya :
Terlanjur kuucapkan
adinda.
Kau yang kuharapkan.
Tak tahu siapa yang
berdusta.
b.
Lawas Ulan
Panas Ano
Lawas Ulan Panas Ano adalah Lawas yang disampaikan pada saat
siang hari, saat matahari sedang terik/ panas-panasnya. Lawas Ulan Panas Ano
berirama dan bertempo tinggi sebagai gambaran semangat. Lawas Ulan Panas Ano
disampaikan pada siang hari sekitar pukul 13.00-15.00 Wita.
Contoh Lawas Ulan Panas Ano :
Kakendung Ling Kuandi E
Kupina Pangasa Kau
Sipak Lalo Gandeng Jangi
Kasijangi Ku Ke Kau
Mikir Ate Totang Rara
Leng To Diri Melasakan
Melasakan Nanta Rara
Ngining Buya Tuyapendi
Kamina Tingi Konang Mal
Artinya :
Terlanjur ucapku
wahai adinda.
Menaruh harapan
kepadamu.
Tak tahunya kamu
setengah hati.
Kuberharap berjodoh
denganmu.
Hatiku mikir aku
miskin.
Tahu diri tak punya
apa-apa
Merana karena
miskin.
Mencari orang yang
mengasihan.
Pamanda mulia tapi
malu.
c.
Lawas Ulan
Rawi Ano
Lawas Ulan Rawi Ano adalah Lawas yang disampaikan sore hari,
selepas shalat Asar. Lawas Ulan Rawi Ano berirama sendu dan tempo mulai turun
dibandingkan dengan Lawas Ulan Panas Ano. Lawas Ulan Rawi Ano biasanya
menggambarkan sebuah kesedihan atau pun kebahagiaan. Kondisi sedih dan bahagia
bisa terjadi, jika sipelantun Lawas laki-laki diterima oleh pelantun Lawas
wanita. Lawas Ulan Rawi Ano adalah Lawas penutup untuk pekerjaan Mataq Rame
(panen raya) pada hari itu.
Contoh Lawas Ulan Rawi Ano :
Pina ne anak tungining
Tili ano gama mega
Lema rep sakiki rara
Rara inaqku sapuan
Nosoda dengan kamikir
Pang aku dua ke leno
Muto beling gama leno
Lema tulung aku mikir
Kau baesi kuasa
Artinya :
Melangkahlah si anak
merana.
Tutuplah mentari
wahai awan.
Agar teduh si miskin
bernaung.
Miskin ibuku dahulu.
Tiada teman
berpikir.
Padaku hanya bersama
bayangan.
Bicaralah wahai
bayangan.
Tolonglah aku
berpikir.
Hanya engkau yang
kuharapkan.
1.2
Gandang
Gandang adalah Lawas yang dilantunkan oleh sekelompok orang
dengan diiringi Serunai (seruling) atau pukulan alu pada lesung (Nunya Rame).
Gandang dilantunkan oleh sekelompok perjaka dan gadis, apabila sekelompok
perjaka dan gadis melantunkan Gandang dengan iringan serunai maka disebut
Gandang Suling, jika diiringi dengan pukulan alu pada lesung disebut Gandang
nunya/nunya rame.
Gandang suling biasanya dilantunkan dalam suasana gembira
karena hasil panen berlimpah, karena itu, Lawas-Lawas yang dilantunkan biasanya
merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Gandang suling juga
dilantunkan pada malam hari oleh dua orang pemuda yang salah satunya sedang
jatuh cinta dan biasanya dilantunkan di tengah sawah saat menjelang padi
menguning atau di tempat yang dekat dengan rumah si gadis yang diincar oleh
pemuda itu. Lawas yang diungkapkan merupakan ungkapan kasih sayang, cinta, dan
janji-janji sang pemuda kepada sang gadis.
Gandang selain diiringi oleh Serunai juga ada yang diiringi
oleh pukulan alu pada lesung, ini yang disebut dengan Gandang nuja/Nunya Rame.
Gandang nuja biasanya dilakukan oleh sekelompok pemudi yang sedang menumbuk
padi.
Gandang Nuja/Nunya Rame hanya dilakukan pada saat para wanita
sedang bergotong royong menumbuk padi di halaman rumah kala bulan terang
benderang. Pekerjaan ini dilakukan oleh para wanita untuk membantu tetangga
menyiapkan beras ketan yang akan digunakan untuk hajatan. Pada saat seperti
ini, biasanya para jejaka datang menyaksikan sambil memperhatikan siapa yang
bakal dijadikan pasangan hidupnya (mencari jodoh). Lawas-Lawas yang dilantunkan
biasanya Lawas muda-mudi yang berisi sindiran, ejekan, dan ungkapan-ungkapan
rasa cinta.
Berikut petikan Lawas Gandang :
Ajan sampama kulalo
Kutarepa bale andi
Beling ke rua e nanta
Artinya :
Seandainya aku
bertandang.
Mampir di rumah
adinda.
Adakah gerangan
belas kasihan.
Dijawab oleh si gadis:
Lamin tetapmo pang sia
Bose sangangkang let rea
Naq beang bilu lako len
Artinya :
Kalau tetap
pendirian.
Kayuhlah dayung ke
samudra.
Jangan berpaling
pada yang lain.
1.3
Saketa
Saketa adalah Lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang
sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan
permainan rakyat atau bergotong-royong membangun rumah, mengangkut kayu besar.
Di tengah-tengah orang yang baSaketa, biasanya muncul salah seorang yang
mengumandngkan Lawas Saketa yang kemudian disambut serempak oleh anggota
kelompok/rombongan dengan suara “ho… bam… baho… bam….” dan seterusnya.
Suara-suara pemberi semangat ini disebut dengan Gero/Bagero. Lawas Saketa yang
di rangkaikan dengan Gero dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan berat,
Barapan Kebo (karapan Kerbau), permainan rakyat Barampok/Barempuk (tinju ala
Sumbawa). Saketa dan Bagero digunakan juga untuk upacara mengiring pengantin
(Iring Pangantan) dari rumah pihak laki-laki ke rumah calon pengantin wanita.
Adapun Lawas yang disampaikan saat itu adalah:
Pangantan ntek Rawi
Ano
Iring leng mayung satupang
Lamin no buta batempang
Tuk tak ne mayung
Jontal satetak jadi payung
Suara rombongan:
“ho… bam… baho… bam….”
Artinya :
(Pengantin berangkat
sore hari
diiringi serombongan
kijang
kalau tidak buta ya
pincang
tuk tak wahai kijang
lontar sepotong jadi
payung)
Tradisi Saketa di Sumbawa saat ini sulit ditemukan lagi. Ini
disebabkan oleh karena pembangunan rumah di Sumbawa sudah tidak
bergotong-royong lagi dan kalaupun ada sudah tidak lagi diadakan BaSaketa.
Lawas-Lawas yang disampaikan pun biasanya adalah Lawas yang bersifat menggalang
persatuan dan kebersamaan dengan penuh semangat.
1.4
Ngumang
Seorang pria yang menembangkan Lawas dengan lantang sambil
mengacungkan dan atau merentangkan kedua tangannya, di salah satu tangannya
memegang Mangkar (cambuk khas Sumbawa yang khusus digunakan untuk menghalau
kerbau pada saat “Barapan Kebo” karapan kerbau) sambil menari mengelilingi
arena. Ngumang hanya dilakukan pada saat Barapan Kebo, Maen Jaran dan Barampok.
Ngumang dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan
kegembiraan karena telah menang, baik pada saat Barapan Kebo maupun pada saat
Barampok. Ngumang juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada peserta
Barapan Kebo dan Barampok sekaligus juga berfungsi untuk memperkenalkan diri
kepada penonton. Peserta yang menang biasanya akan Ngumang dan menyampaikan
Lawas. Lawas Ngumang bisa seperti petikan Lawas berikut.
Ala e sai nongka tan
Makatoan lako aku
Sa nya baing Gila Roda
Artinya :
Siapakah yang belum
mengenal
Tanyalah padaku
Inilah pemilik Gila
Roda ‘nama kerbau’
1.5
Badede
Badede adalah menembangkan Lawas yang ditujukan untuk Anak
menjelang tidur atau saat pangantin sedang Barodak ‘luluran’. Lawas yang biasa
dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang sedang menina-bobokan atau
mengasuh bayi disebut (Badede Anak). Lawas yang dilantunkan pada saat Badede
Anak bertemakan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa agar Anak yang diasuh
dapat panjang umur, berguna bagi orang tua, masyarakat, nusa dan bangsa serta
agama. Badede Anak disebut juga Lawas Kembang-Kembong.
Lawas yang digunakan pada saat Badede Anak tidak sama,
tergantung pada umur dan pada tempat dimana Anak ditidurkan. Perbedaan itu
terlihat pada irama dan kata-kata dari Lawas yang digunakan. Berikut ini contoh
Lawas yang biasa digunakan pada kegiatan Badede Anak.
Matunung adi matunung
Meleng tunung kubeang me
Jangan jadi kembo kopang
Artinya :
Mari tidur adik mari
tidur
Bangun tidur kuberi
nasi
Ikan susu kerbau
sehat
Contoh lain :
Adi ode dalam bilik
Nyentik ima poyong mama
Sadua kita gamandi
Artinya :
Adik Mungil dalam
kamar
Lentik indah
jemarimu
Kita ini hanya
berdua wahai adinda
Badede Adat hanya berkembang di kalangan bangsawan Samawa
(Sumbawa). Badede Adat dilaksAnakan pada saat upacara perkawinan dan Sunat
Rasul (khitanan). Badede Adat ditembangkan oleh beberapa wanita sambil
membunyikan Kosok Kancing (sejenis marakas). Badede Adat dilantunkan dalam
suasana yang relegius dan dihajatkan agar mereka yang menerima acara ini dalam
keadaan selamat serta tidak mudah diganggu makhluk halus.
Salah satu upacara yang diiringi Badede Adat adalah pada saat
kegiatan Barodak (luluran pengantin, baik pria maupun wanita) keluarga
bangsawan. Pengantin pada saat mau di-Odak (dilulur), maka sekelompok wanita
melantunkan Lawas Badede Adat. Lawas yang dilantunkan pada saat Barodak adalah
sebagai berikut.
Dede Intan Mua Dewa
Mua Bulaeng Do Nanta
Penangmo Intan Manmo Nanges
Lamin Leq Tawar Ate
Dome No Mane Parana
Siong Untung Sama Rela
Untung Tusaling Sasakit
Penangmo Intan Manmo Nangis
Beang Boe Ling Tutingi
Kita Tupasodo Rara
Pasodo Apa Pasodo
Artinya :
Duhai sayang duhai
para Dewa
Wahai permata duhai
saying
Tenanglah sayang
jangan menangis
Bila lama kau menangis
Andaikan tidak
merusak tubuh
Bukanlah jodoh sama
rela
Jadinya jodoh
pangkal sengsara
Tenanglah sayang
jangan menangis
Biarkan habis oleh
yang mulia
Kita hanya mendekap
dalam kemiskinan
Milikilah apa yang
kau miliki
1.6
Basual
Kata basual berasal dari kata sual yang mendapat awalan ba-,
sual berarti soal, sedangkan ba- berarti menjadi. Jadi, basual artinya
menyampaikan soal. Seseorang yang mengajukan soal yakni dengan menyampaikan
sampiran dari sebuah Lawas. Bagi yang hadir dalam kesempatan tersebut dan
mengetahui jawabannya, maka akan segera menjawabnya. Jawaban yang disampaikan
adalah isi dari sampiran yang dikemukakan.
Kegiatan Basual dapat dijumpai pada saat orang sedang membuat
atap rumah (Nyantek), panen (Mataq Rame), di rumah orang yang mau kawin (Montok
Basai), dan lain-lain. Contoh petikan Lawas Sual.
Ayam Buri Desa Utan
Parak Ke Desa Samamung
Ana Badi Kuring Rate
Meporiri Ku Ta Intan
Jarang Kubau Batemung
Rosa Dadi Rusak Ate
Artinya :
Ayam burik desa Utan
Dekat dengan desa
Samamung
Ada badikku di rate
Betapalah caraku
duhai kekasih
Sangat jarang kita
bertemu
Hancur luluh hatiku
Contoh lain :
Lalo Mancing Ko Pamulung
Entek Lako Desa Pungka
Kupandang Desa Malili
Lalo Kau Manjeng Urung
Kukelek No Balik Bungkak
Mumandang Adasi Lili
Artinya :
Pergi memancing ke
Pamulung
Naik ke desa pungka
Kupandang desa
Malili
Pergilah engkau
kekasih urung
Kupanggil menoleh
pun tidak
Kau kawin ada juga
penggantimu
1.7
Langko
Langko merupakan penyampaian Lawas yang dilakukan oleh
sekelompok pemuda dan kelompok pemudi yang saling beradu Lawas cinta.
Lawas-Lawas yang disampaikan dalam Langko berbeda dengan Lawas Sual. pada saat
Malangko, Lawas yang disampaikan harus dijawab dengan Lawas, yang perlu
diperhatikan dalam Malangko adalah langgam lagu Lawas yang dibawakan. Langgam
lagu Langko ini yang sangat diperhatikan oleh si pelantun, selain juga
Lawasnya. Jika tidak mampu mengikuti langgam lagu Langko, maka dianggap kalah,
ditertawakan, dan juga malu. Mereka yang akan ikut Malangko harus orang-orang
yang pandai baLawas dan juga pandai menembangkan langgam Langko.
Kegiatan Malangko biasanya dimanfaatkan oleh para muda-mudi
untuk mencari jodoh, oleh karena itu muda-mudi di Sumbawa pada waktu itu
berusaha semaksimal mungkin untuk bisa BaLawas. Mereka yang bisa BaLawas di
Sumbawa akan mempunyai pergaulan yang luas. Di Sumbawa ada dikenal tiga jenis
orang, yakni: Nyir Tamat Telu (bisa membaca Al-Quran); bisa Ratob; dan bisa
BaLawas. Lawas Langko.
Putra :
Kusamula Ke Bismillah
Kusasuda Ke Wassalam
Nan Ke Salamat Parana
Artinya :
Kumulai dengan bismillah
Kuakhiri dengan wassalam
Agar diri jadi selamat
Putri:
Rungan Rame Boat Sia
Bagentar Tana Samawa
Batomo Nyata Kugita
Artinya :
Kabarnya
meriah pesta Tuan
Bergetar
tanah Sumbawa
Kini
nyatalah sudah
Putra:
Tugitaq Nyata Ke Mata
Riam Mara Den Baringin
No Bola Ne Bawa Rungan
Artinya :
Nyata
terlihat mata
Lebat
bagai daun beringin
Tidak
bohong pembawa berita
Putri:
Rungan Balongmu Andi E
Kaleng Empang Ko Sakongkang
Nomonda Dengan Kubaning
Artinya :
Tersiar
kecantikanmu duhai dinda
Dari
empang ke Sekongkang
Tiada
tanding tiada banding
1.8 Sakejo
Sakejo
adalah bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa
karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang
disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat
variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai
pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung.
Pewarisan
lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu,
pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni
pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan
dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco.
Sakeco
muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang
melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana.
Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena
syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab.
Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton (pendengar) kurang mendapat
hiburan yang sifatnya gembira atau lucu, hal ini menyebabkan kehadiran lawas
sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati masyarakat.
Pertunjukan
sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi
(Taliwang) bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua pasangan ini selalu tampil
melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal
dengan nama Sake (panggilan untuk Zakaria) dan Co (panggilan untuk Syamsuddin)
yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada
yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana
Samawa dan tak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut.
Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan
untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh
keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang
merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana kita jumpai
hampir disemua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco kita temui dalam seni
Kentrung di Jawa Timur.
Sakeco
dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang
oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial.
Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada
jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam
pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau
kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir
(cerita). Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang
disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan
penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat Samawa juga dikenal seni bakelong,
bentuk penyampaian elong (Bugis) yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni
petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di
Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud
keindonesian.
Contohnya
:
Kajiranan po sia e
Mufakat tau telu nan
Beling koa Kaki Ranggo
Oe Garantung balong ate
Saboe pangeto mu balong
Coba tupina batu gong
Ada detu bilin mate
Lemanaka(ta) lupa kita
Dadi sajara pang mudi
Masa si era ya bangun
Dadi tokal pariwisata
Kunjungan ling s area tau
Artinya :
Setelah
itu ya Tuan
Bermufakat
mereka bertiga
Kaki
Ranggo berkata
Wahai
Garantung yang baik hati
Mari
amalkan pengetahuanmu
Coba
kita buat batu gong
Agar
ada yang kita tinggalkan mati
Kita
tidak akan dilupakan
Nantinya
akan menjadi sejarah
Diakhir
masa nanti dibangun
Jadi
tempat pariwisata
Di
datangi oleh semua orang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar