I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap suku bangsa yang hidup dengan
kebudayaannya masing-masing selalu memiliki mitos atau cerita rakyat yang
berupa folklor ataupun babad dan dongeng suci mengenai penciptaan alam semesta,
tokoh-tokoh yang dianggap suci, dan cerita-cerita rakyat yang dianngap memiliki
nilai-nilai luhur dalam sebuah budaya dianut dan lakukan secara berkelangsungan
dan turun temurun.
Cerita rakyat biasanya penuh dengan
keajaiban-keajaiban atau nilai-nilai mistis yang tidak bisa dikaji dan bahkan
sulit untuk dipercayai dengan nalar, namun demikian, para pendukung dari cerita
rakyat ini selalu percaya dan menerimanya sebagai suatu hal yang bernilai luhur
bahkan lebih dari itu, mereka senantiasa mengagung-agungkan cerita rakyat yang
berkembang di daerah mereka masing-masing.
Di pulau Lombok sendiri terdapat
banyak sekali cerita rakyat yang berkembang dan tetap hidup hingga sekarang.
Diantara sekian banyak cerita rakyat yang berkembang di pulau Lombok, ada
beberapa cerita rakyat yang sangat terkenal dan bahkan tersebar hingga ke luar
pulau Lombok.
Cerita-cerita dimaksud adalah cerita
rakyat Dewi Anjani, cerita rakyat Cupak Gurantang, cerita rakyat Datu Keling
Datu Dehe, cerita rakyat Putri Nyale, cerita rakyat Doyan Neda, dan cerita
rakyat Batara Guru.
Cerita rakyat yang telah disebut
tadi, hampir tersebar di seluruh wilyah pulau Lombok dan dikenal oleh semua
masyarakatnya, sebab cerita tersebut telah tersebar dari mulut ke mulut dan
dari masa ke masa.
1.2. Kajian Teori
Dalam setiap
persoalan yang tengah ada pada saat ini, dunia globalisasi sangat mengharuskan
kita untuk memiliki nilai- nilai karakter yang tinggi dan dapat meningkatkan
mutu pembelajaran kita. Dalam kasus ini yaitu tetang pembelajaran Bahasa
Indonesia, khususnya dalam menggali karakter yang ada pada masyarakat dengan
mengangkat cerita rakyat yang telah berkembang sebelumnya, tentunya dengan
berpijak pada tujuan pembelajaran.
Di dalam Permendiknas
Nomor 22 tahun 2006 dinyatakan pula bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia
yang berkaitan dengan cerita rakyat adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. Untuk mencapai tujuan itu, dirumuskan sejumlah kompetensi dasar yang
harus dikuasai peserta didik. Pada jenjang SD/MI, misalnya, dijumpai kompetensi
dasar yang bekaitan dengan sastra lisan itu antara lain yaitu: menyebutkan
tokoh-tokoh dalam cerita, menyebutkan isi dongeng, menceritakan kembali isi
dongeng yang didengarnya, menceritakan isi dongeng yang dibaca, dan
mengidentifikasi unsur cerita rakyat yang didengarnya.
Pada jenjang
SMP/MTs, kompetensi dasar yang berkaitan dengan sastra (rakyat) itu antara lain
adalah: menulis kembali dengan bahasa sendiri dongeng yang pernah dibaca
atau didengar, menemukan hal-hal yang menarik dari dongeng yang diperdengarkan,
dan menunjukkan relevansi isi dongeng dengan situasi sekarang, menulis kembali
dengan bahasa sendiri dongeng yang pernah dibaca atau didengar. Pada jenjang
SMA/MA dijumpai beberapa kompetensi dasar yang berkaitan dengan sastra
(rakyat), seperti: menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat
yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman, dan
menjelaskan hal-hal yang menarik tentang latar cerita rakyat yang disampaikan
secara langsung dan atau melalui rekaman.
Di dalam
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 itu dinyatakan pula bahwa sekolah dapat
menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
kedaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. Daerah dapat menentukan
bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan
kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Beberapa data yang dikemukakan di
atas, memperlihatkan bahwa sastra lisan atau cerita dongeng yang ada di
Sumatera Selatan ini seyogyanya merupakan hal yang sangat diperlukan dalam
pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran, sebagaimana mata pelajaran lainnya,
diintegrasikan dengan pendidikan karakter yang dicanangkan ketika peringatan
Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011 oleh Presiden RI.
Mengenai pengertian pendidikan karakter, Sudrajat (http://ahmadsudrajat.
wordpress.com/) mengemukakan:
Pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil.
Di
dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan
nasional ini tampaknya berkaitan erat dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan, santun, dan berinteraksi
dengan masyarakat.
Bila
dicermati bunyi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di atas, tampaknya pendidikan
karakter bagi peserta didik memang diperlukan. Sesungguhnya pendidikan
karakter selama ini secara eksplisit terdapat pada beberapa mata pelajaran
seperti Pendidikan Agama, dan Pendidikan Budi Pekerti. Akan tetapi, secara
tersirat, pendidikan karakter ini antara lain terdapat dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Bila dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra, termasuk
cerita rakyat, dapat dilakukan melalui penggalian nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra seperti nilai moral, nilai budaya, dan nilai relegius, yang
merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter ini.
Pelaksanaann pendidikan karakter diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran
di setiap jenjang pendidikan, seperti dikemukakan Sudrajat (http://
ahmadsudrajat.wordpress.com/) berikut.
Pendidikan karakter dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan karakter
ini tidak saja menyangkut aspek kognitif, tetapi yang lebih penting lagi adalah
aspek afektif dan psikomotor. Seyogyanya juga tidak hanya menyangkut kegiatan
kurikuler tetapi menyangakut kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Yang
terlibat pun bukan hanya guru teapi juga manajemen sekolah dan kebijakan yang
dilakukan di lingkungan sekolah serta konteks kehidupan yang ada di sekitarnya.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Isi Cerita
Konon, menurut Mangku Raden
Singanem, pada zaman dahulu sekitar Bayan Beleq sekarang ini, yaitu pada abad
ke 8 M di bumi Bayan berkembang dua buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan
Kerajaan Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet
timur Orong dan Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha
dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di
kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini
belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda
akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.Konon kedua
orang raja ini sulit sekali memiliki keturunan, sehingga pada suatu hari mereka
berdua berencana untuk pergi bertapa di Montong Kayangan, dengan tujuan
keduanya ingin meminta atau bertafakur di sana supaya Sang Hiyang Tunggal
memberi mereka berdua keturunan. Keesokan harinya mereka berdua pergi bertapa,
dalam pertapaannya Datu Keling memohon kepada Sanghiyang Tunggal supaya ia mendapatkan anak laki-laki,
sedangkan Datu Daha memohon supaya ia mendapatkan seoramg anak perempuan.
Datu Keling berjanji jika kelak ia
mendapatkan anak laki-laki maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk
membayar Kaul atau nazar berupa sirih pinang dan sesajen secukupnya. Pada
kesempatan yang sama Datu Daha juga berjanji, kelak jika ia benar-bernar
mendapatkan anak perempuan, maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk
membayar Kaul dengan membawa pinang sirih, sesajen selengkapnya, ia juga
berjanji akan membawa seekor kerbau bertanduk emas, berkuku permata, berekor
sutra, dan permadani.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan,
dikisahkan istri Datu Daha dan Datu Keling pun hamil, kemudian mereka
melahirkan. Istri Datu Keling melahirkan anak Laki-laki yang diberi nama Raden
Mas Panji. Begitu juga dengan istri Datu Daha beberapa minggu kemudian
melahirkan seorang anak perempuan. Tidak diceritakan dalam lontar Cilinaya itu
siapa nama anak dari Datu Daha yang baru lahir itu. Begitu anaknya lahir, Konon
Datu Keling langsung pergi untuk membayar nazarnya ke Montong Kayangan dengan
membawa apa yang diucapkan pada saat melakukan permohonan ketika melakukan tapa
bratanya. Berbeda dengan Datu Daha, ia lupa akan apa yang pernah diucapkannya
saat beliau bertapa untuk meminta anak perempuan itu. Diceritakan Datu Daha
sangat bahagia dengan kehadiran putrinya, sehingga dengan kebahagiaan tersebut,
beliau terlena dan lupa untuk membayar janjinya ke Montong Kayangan.
Dikisahkan pada saat putri Datu Daha
berusia sekitar tiga tahun, anak tersebut hilang tanpa jejak, ia hilang saat
bermain di halaman istana kerajaan. Konon anak perempuan tersebut dibawa oleh
angin dan pada akhirnya putri tersebut terdampar di kebun milik Inaq Bangkol
dan Amaq Bangkol. Tidak lama berselang semenjak putri tersebut terdampar, Inaq
Bangkol yang sedang mencari pakis mendengar suara tangisan dari semak-semak belukar
di kebunnya, mendengar suara bayi tersebut Inaq Bangkol terkejut, lalu mencari
dari mana terdengarnya tangisan bayi tersebut, setelah beberapa lama mencari di
semak-semak belukar yang dicurigainya, maka Inaq Bangkol pun menemukan seorang
anak kecil mungil di tengah-tengah semak belukar yang tidak jauh dari sumurnya
yang nantinya di sebut Sumur Tada itu.
Melihat anak mungil tersebut, Inaq
Bangkol terkejut dan belum berani mengambilnya, maka Inaq Bangkol segera
memanggil suaminya Amaq Bangkol. Setelah mereka berunding maka Inaq Bangkol
langsung mengangkat dan menggendong anak tersebut, selanjutnya mereka bawa ke
dalam rumah. Sesampainya di rumah mereka (Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol)
berunding untuk memberikan anak tersebut nama. Pada saat itu Amaq Bangkol
langsung mengusulkan supaya anak itu diberi nama Cilinaya, di mana Cili berarti
kecil mungil dan Naya berarti Cantik Jelita. Setelah itu maka anak tersebut
dipanggil dengan nama Cilinaya, mereka mengasuh dan membesarkan anak tersebut
dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya sebagai anak mereka sendiri. Hingga
Denda Cilinaya berusia kurang lebih 25 tahun.
Sementara itu di kerajaan Keling,
Raden Mas Panji (Putra Datu Keling) juga sudah dewasa, ia juga berumur 25 tahun
sama dengan Denda Cilinaya. pada suatu hari Raden Mas Panji tiba-tiba berniat
untuk pergi berburu ke Pawang Bening (hutan belantara). Lalu Raden Mas Panji
meminta izin kepada ayahandanya (Datu Keling). Datu Keling memberi izin kepada
putranya untuk pergi berburu dengan dikawal oleh tiga orang patih, yaitu Raden
Gerude, Raden Tokok, dan Raden Semar.
Keesokan harinya mereka berempat
berangkat dengan membawa bekal dan alat-alat untuk melakukan perburuan di hutan
belantara. Dalam perjalannaya mencari hewan buruan mereka terus menyusuri hutan
belantara. Semenatara haru sudah mau beranjak sore, mereka belum menemukan
satupun hewan buruan, sedangkan persiapan air yang di bawa dari kerajaan sudah
habis. Karena merasa haus maka Raden Mas Panji mengajak ketiga pengawalnya
untuk mencari air minum sambil menusuri hutan belantara.
Dalam perjalanan mencari air minum
mereka mendengar suara Jajak yaitu suara orang menenun. Mendengar suara
tersebut mereka langsung mencari sumber suara, sebab mereka yakin di tempat itu
pasti terdapat sumur untuk mengambil air minum. Tidak lama berselang, mereka
menemukan rumah Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol, sesampai di sana mereka disambut
oleh Inaq Bangkol dan merekapun langsung menyatakan keinginan mereka untuk
meminta air minum, setelah itu Inaq Bangkol memberikan Ceret (kendi) yang
berisi air kepada Raden Mas Panji dan merekapun minum untuk melepas dahaga yang
mereka rasakan sejak tadi siang.
Singkat cerita, mereka beristirahat
dan berbincang-bincang dengan Ianq Bangkol dan Amaq Bangkol. Raden Mas Panji
menanyakan tentang situasai dan kehidupan Inaq Bangkol dan suaminya. Saat
berbincang-bincang itu, tidak sengaja Raden Mas Panji melihat Denda Cilinaya
yang sedang menenun di dalam rumah, lalu dari sela-sela pagar yang bolong Raden
Mas Panji terus saja mengawasi Denda Cilinaya. Karena penasaran ingin melihat
Denda Cilinaya lebih jelas maka Raden Mas Panji terus saja duduk bersama Inaq
Bangkol dan Amaq Bangkol.
Sementara itu, ketiga patih yang
mengawalnya mengajak Raden Mas Panji untuk segera pulang ke isatana sebab hari
sudah sore, beberapa kali mereka mengajak Raden Mas Panji untuk pulang, namun
Raden Mas Panji tidak bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya ke tiga orang
patih itu memutuskan untuk pulang dan Raden Mas Panji memutuskan untuk tinggal
bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol digubuk yang sederhana itu. Sesampainya
di istana, ketiga patih tersebut langsung melaporkan keberadaan Raden Mas Panji
yang tidak mau diajak pulang dan memutuskan untuk tinggal bersama Inaq Bangkol
dan Amaq Bangkol di gubuk yang sederhana di tengah hutan.
Mendengar laporan tersebut Datu
Keling sangat murka, sebab putra mahkotanya lebih memilih tinggal di rumah
orang miskin karena jatuh cinta kepada anak dari orang kebanyakan tersebut. Ia
merasa putranya tidak layak untuk tinggal dan menjalin cinta kasih bersama anak
orang miskin seperti Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol sebagaimana yang diceritakan
oleh ketiga patih tersebut.
Sementara itu Raden Mas Panji yang
berada di gubuq Inaq Bangkol semakin terpikat dengan kecantikan Denda Cilinaya,
akhirnya mereka menjalin cinta kasih. Setelah kurang lebih 6 tahun tinggal di
sana, Raden Mas Panji memutuskan untuk menikah dengan Denda Cilinaya. dari
hasil pernikahan tersebut mereka mendapatkan seorang putra yang sangat mungil,
yang kelak dikenal dengan nama Raden Megatsih. Mereka hidup dengan bahagia
meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana.
Ketika anak mereka bisa merangkak
(kurang lebih 6 bulan), Datu Keling mendengar kabar bahwa putranya menikah
dengan anak Amaq bangkol, mendengar kabar tersebut Datu Keling semakin murka
sebab Raden Mas Panji sudah mau tujuh tahun tidak pernah pulang ke istana.
Akhirnya Datu Keling mengutus dua orang maha patihnya Raden Adipati dan Raden
Tokok, yang juga lebih dikenal dengan sebutan patih Jero Tuek, untuk mengajak
Raden Mas Panji pulang dengan siasat bahwa Datu Keling sedang sakit keras, dan
setelah itu mereka akan membunuh istri Raden Mas Panji.
Sesampainya di gubuq Inaq Bangkol,
kedua maha patih tersebut menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada Raden Mas
Panji bahwa mereka diutus oleh Datu Keling untuk menyampaikan kabar bahwa Datu
Keling sedang dalam keadaan sakit keras dan Raden Mas Panji harus mencarikannya
obat yaitu hati menjangan putih. Itulah siasat mereka supaya Raden Mas Panji
mau meninggalkan istrinya.
Mendengar hal tersebut, Raden Mas
Panji berunding dengan istrinya Denda Cilinaya. Raden Mas Panji menceritakan
maksud kedatangan kedua patih itu kepada Denda Cilinaya, mendengar penjelasan
itu Denda Cilinaya langsung memiliki pirasat tidak baik terhadap kedatangan kedua
orang patih tersebut, namun ia tidak berani mengatakannya kepada suaminya.
Sebelum Raden Mas Panji berangkat untuk mencari hati menjangan putih, Denda Cilinaya meberinya sebuah cincin. Sewaktu memberikan cicin tersebut Denda Cilinaya berkata,
Sebelum Raden Mas Panji berangkat untuk mencari hati menjangan putih, Denda Cilinaya meberinya sebuah cincin. Sewaktu memberikan cicin tersebut Denda Cilinaya berkata,
“Kanda pakailah cincin ini, jika ditengah perjalanan mata cincin ini
gugur maka itu pertanda bahwa aku telah tiada dan jika mata cincin ini tidak
apa-apa maka itu berarti tidak terjadi apaun terhada aku dan anak mu”.
Mendengar perkataan istrinya, Raden Mas Panji curiga, namun kedua patih
itu terus mendesaknya untuk segera pergi mencarikan Datu Keling obat. Akhirnya
Raden Mas Panji berangkat dengan membawa peralatan untuk berburu. Sedangkan
kedua patih juga pergi dari rumah Ianq bangkol, namun mereka tidak langsung pulang
ke istana, melainkan mereka bersembunyi, menunggu Raden Mas Panji pergi jauh
kemudian melaksanakan tugas mereka untuk membunuh Denda Cilinaya.
Setelah kira-kira Raden Mas Panji berjalan sekitar 1 Km, kedua patih itu
kembali ke rumah Inaq Bangkol untuk membunuh Denda Cilinaya. Sesampainya di
sana, Adipati dan Tokok (Jero Tuek) menjelaskan maksud kedatangannya kepada
Denda Cilinaya, bahwa ia akan membunuh Denda Cilinaya dan membumi hanguskan
rumah Inaq Bangkol, sebab Denda Cilinaya yang merupakan anak hina, anak dari
orang miskin telah lancang menikah dengan putra raja.
Mendengar penjelasan dari kedua patih tersebut, Denda Cilinaya yang pada
saat itu sedang menggendong putranya berkata, “Kalau memang tujuan kalian akan
membunuhku, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa, silahkan kalian lakukan”.Denda
Cilinaya berucap dengan logat dan bahasa Bayan yang pasih, “Mun tetu aku anak
dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau amis, kemudian mun
tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit taik sengeh,”(jika aku
benar-benar anak orang miskin dan kebanyakan seperti yang kalian katakan, maka
biarlah darahku akan tertumpah ke tanah dan berbau amis, sedangkan jika aku
adalah keturunan dari seorang raja atau anak orang mulia maka darahku akan muncrat
ke atas dan berbau harum”.
Setelah perkataan Denda Cilinaya terebut mereka dengarkan, mereka hanya
tertawa terbahak-bahak dan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung menancapkan
pedangnya di hulu hati Denda Cilinaya.
2.2. Analisis Cerita
DATU KELING
DATU DEHE
- Tokoh
-
Datu Keling,
-
Datu Dahe,
-
Kawula Bala,
-
Inaq Bangkol,
-
Inaq Bangkol,
-
Putri,
-
Raden Panji,
-
Patih,
-
Mas Mirah
- Penokohan
-
Datu keling dan Datu Dehe adalah dua orang raja yang selalu menjunjung tingi
kewibawaannya, adat istiadat, keras kepala, selalu mau menang sendiri, licik
-
Kawula Bala adalah prajurit kerajaan yang selalu patuh pada perintah rajanya
meskipun perintah yang dilaksanakannya benar atau salah
- Inaq
Bangkol dan Amaq Bangkol adalah sepasang suami istri yang tinggal di tengah
hutan dan mereka tidak pernah dikaruniai anak, akan tetapi mereka sangat
penyayang, sabar, pekerja yang keras, ulet, dan rajin
- Putri adalah
seorang anak raja yang konon ceritanya dibawa terbang oleh angin besar dan
tersangkut di pohon palem dan ditemukan oleh Inaq Bangkol dan Amaq
Bangkol,Putri orangnya baik,cantik,suka menolong,santun,sangat menghargai dan
menghormati,penyabar,bijaksana
-
Raden Panji adalah seorang anak raja yang gagah pemberani, baik, patuh dan taat
pada perintah orang tuanya, penyayang, tegar, selalu bekerja keras
- Patih
adalah pengawal Raden Panji yang sedang diperintahkan oleh raja untuk pergi ke hutan mencari rusa putih,pemecah
masalah,pemberi kabar
- Mas
Mirah adalah anak dari Raden Panji dan Putri yang masih belum mengetahui
perjalanan hidup orang tuanya
- Setting
- Istana raja /
Kerajaan, Hutan, Rumah inaq bangkol amaq bangkol, pantai tanjung menangis,
Halaman kerajaan, di bawah pohon yang rindang
- Alur
- Maju
karena di dalam cerita ini selalu berpatokan dengan waktu yang terus berjalan
dan tidak pernah menceritakan kejadian-kejadian masa lampau
- Amanat
-
Jadilah orang yang selalu bijaksana dan penyabar karna semuanya pasti akan ada
balasannya
-
Percaya kepda orang lain dapat memberikan kesenangan jasmani dan rohani
-
Janganlah melantarkan anak
-
Hargailah pendapat orang lain
-
Sebaiknya kita harus menjadi orang yang tegas meskipun mempunyai resiko
-
Belajarlah untuk selalu saling menghargai dan menghormati
-
Semua apa yang telah kita lakukan pasti akan kita dapatkan kembali
-
Jangan jadikan sebuah pangkat menjadi pembeda dalam setiap kehidupan
- Tema
“Kepatuhan akan selelu membawa
kebenaran”
- Nilai karakter yang terkandung dari cerita sastra rakyat sasak “Datu Keling Datu Dehe”
-
Religius
Lampiran cerita ; (1) Datu Keling dan datu Dehe bernazar ke tanjung
menangis jika mereka mendapatkan anak (2) inaq bangkol mendapatkan seorang
putri di atas pohon pinangnya kemudia putri itu dirawat dan dipelihara sampai
dia menjadi dewasa
-
Jujur
Lampiran cerita;(1) Raden panji
memerintahkan patih agar memberikan kabar kepada datu keling bahwa dia sudah
menikah dengan anak inaq bangkol amaq bangkol (2) patih berkata dalam hatinya
bahwa dia harus memberitahukan raden panji bahwa inaq bangkol amaq bangkol
mempunyai anak yang sangat cantik seperti seorang putri
-
Toleransi
Lampiran cerita; Putri tetap saja
menolak karena dia hanya anak inaq bangkol amaq bangkol sedangkan Raden Panji
adalah putra raja
-
Disiplin
Lampiran cerita; ayahnya raden panji
memerintahkan sembilan orang patihuntuk
membawa istri Raden Panji ke tengah hutan dan membunuhnya disana, Dibawalah
istri Raden Panji ke tengah hutan sambil menyusui anaknya yang menangis
-
Kerja keras
Lampiran cerita; Raden Panji, habis
sudah ke semua penjuru dia mencari, dari ujung barat sampai ke ujung timur,
dari ujung utara sampai ujung selatan tidak ada juga rusa putih yang dia
temukan.
-
Kreatif
Lampiran cerita; Raden Panji tetap
saja memaksa agar inaq bangkol amaq bangkol memperlihatkan anaknya, karena amaq
bangkol inaq bangkol tetap saja menolakpermintaan Raden Panji, akhirnya Raden
Panji memberikan inaq bangkol amaq bangkol meminum arak sampai mereka berdua
pingsan, pada waktu itulah, Raden Panji mencari Putri yang disembunyikan inaq
bangkol amaq bangkol.
-
Rasa ingin tahu
Lampiran cerita; (1) mendengar
cerita patih Raden Panji langsung mengajak patih untuk mencari Putri tersebut,
(2) karena begitu meriahnya pesta yang diadakan oleh datu dengan gaungan alat
musik kesenian, terdengarlah oleh anaknya Raden Panji dan membuatnya ingin
sekali menyaksikan pesta yang diadakan oleh Datu Keling, walaupun Raden Panji
melarangnya pergi menyaksikan pesta tersebut karena dia malu anaknya tidak
memiliki pakaian, anaknya tetap saja pergi menyaksikan pesta itu.
-
Peduli sosial
Lampiran cerita; Raden Panji pun
merasa haus dan memerintahkan patihnya untuk mencarikannya air minum. Patih pun
mencari air minum untuk raden panji dan sampailah dia di sebuah rumah, yaitu
rumahnya inaq bangkol amaq bangkol. Di sana dia
disuguhkan air minum oleh putri tersebut yang dulu ditemukan oleh inaq
bangkol amak bangkol.
PENUTUP
Pengintegrasian nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa amat mungkin
dilaksanakan dalam pembelajaran apresiasi sastra, mengingat karya sastra itu
sendiri sarat dengan nilai budaya yang berkaitan dengan pendidikan karakter.
Kekayaan khazanah sastra Melayu dan sastra nusantara merupakan potensi yang tak
habis-habisnya untuk digali lalu dijadikan sebagai bahan ajar pembelajaran
Bahasa Indinesia itu. Pendekatan resepsi sastra dipandang dapat mengeksploatasi
nilai budaya dan karakter yang terdapat di dalam karya sastra. Selain itu,
melalui pendekatan ini siswa dapat pula diajak berekspresi sastra, baik dalam
bentuk penulisan kreatif maupun dalam bentuk performansi sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar