"Ada begitu banyak orang yang telah terlibat bersama saya dalam kedekatan,
secara intim. Dan cinta adalah bagaimana anda tetap hidup, bahkan setelah anda
mati,"(Mitch 136).
Tuesdays
with Morrie (Selasa Bersama Morrie), bukan hanya sekadar buku tapi pelajaran
berharga tentang cinta, kasih sayang dan di atas segalanya tentang kehidupan.
Bukan hanya sekadar hidup dalam artian sekadar menjalani kehidupan tapi bagaimana
menjalani kehidupan yang bermakna, atau seperti orang Inggris bilang “Live life to the fullest”.
Tuesdays with Morrie menggunakan
kilas balik untuk membawa keluar konotasi lebih ke dalam cerita. Dalam buku ini, Morrie Schwart,
seorang dosen yang didiagnosa menderita Amyotrophic Lateral
Sclerosis (ALS). ALS, dikenal juga dengan penyakit Lou Gehrig, adalah sebuah
penyakit yang menyerang saraf secara ganas, tanpa ampun. Namun menghadapi
kenyataan akan fananya hidup, Morrie dengan bijaksana memilih menjadikan
hidupnya pembelajaran bagi banyak orang. Semua dicatatkan dengan baik dari
pertemuan-pertemuan Morrie, sang professor, dan Mitch, mantan mahasiswa
terbaiknya yang memilih menjauh pada tahun-tahun awal kelulusan dari
universitas, mengejar kebahagiaan dan kebebasan yang akhirnya memperhambakan
hidup dan masa mudanya pada kapitalisme.. Apa yang dikemukakan dalam buku sebenarnya memang
menggambarkan kehidupan kita sehari-hari. Manusia seringkali lupa dengan makna
dan tujuan hidup mereka yang sebenarnya. Mereka terlalu sibuk mengejar materi,
pekerjaan, dan hal-hal lain yang menurut mereka penting, tapi sebenarnya tak
lebih dari hanya memberikan kebahagiaan semu. Masyarakat, di manapun itu, telah
dikonstruksi untuk menilai keberhasilan seseorang dari segi kekayaan, jabatan,
status sosial dan hal-hal material lainnya. Sehingga tiap orang berlomba-lomba
untuk mengejar hal tersebut dalam kehidupan mereka. Sehingga pada akhirnya
mereka menjadi seperti yang disebut Morrie, orang-orang yang hidup tapi seperti
orang mati. Hidup hanya seperti robot. Dengan kondisi masyarakat yang seperti
itu, kehadiran Tuesdays with Morrie seperti oase di tengah padang pasir yang
memberikan pelega dahaga bagi jiwa yang kering. Hidup dalam pandangan Morrie
tidak dinilai dari seberapa kaya kita atau seberapa tinggi jabatan kita ataupun
status sosial kita. Hidup yang bermakna katanya adalah jika kita sudah bisa
memberikan sesuatu bagi orang lain, bagi lingkungan, dan bagi masyarakat luas.
Dan dengan itu hidup akan lebih berarti.
Jika Morrie bisa merepresentasikan orang yang sudah penuh dengan pengalaman hidup, maka muridnya Mitch Albom, yang juga menjadi penulis buku ini, bisa dijadikan gambaran orang-orang yang seringkali kita jumpai, orang yang mengejar materi dan karier. Jika Mitch Albom belajar banyak dari kebijaksanaan Morrie, maka kita para pembacanya juga bisa belajar hal yang sama melalui buku ini.
Jika Morrie bisa merepresentasikan orang yang sudah penuh dengan pengalaman hidup, maka muridnya Mitch Albom, yang juga menjadi penulis buku ini, bisa dijadikan gambaran orang-orang yang seringkali kita jumpai, orang yang mengejar materi dan karier. Jika Mitch Albom belajar banyak dari kebijaksanaan Morrie, maka kita para pembacanya juga bisa belajar hal yang sama melalui buku ini.
Tuedays with Morrie bercerita dengan gaya yang sederhana tapi sangat menyentuh. Saya yakin siapapun yang membaca buku ini pasti akan merasa tersentuh dan merenung tentang kehidupan yang sudah kita dijalani selama ini. Pelajaran yang diberikan Morrie membuat kita merasa nyaman dan ‘be at peace with ourselves‘. Memang hidup dengan hanya mengandalkan materi tidak akan pernah memberikan kebahagiaan yang nyata. Hanya dengan kasih sayang dan cinta kepada sesama kita bisa benar-benar menghargai hidup. Seperti kata Morrie ‘Love always wins‘!
Bagi kita mungkin ia sosok orangtua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar, dan arif, yang memahami kita sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu kita memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberitahu kita cara terbaik untuk mengarunginya. Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yangpernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.
Jantung dari narasi novel ini adalah hari selasa ke empat belas
yang menandai reuni Mitch dan profesor setelah periode enam belas tahun. Pada
dasarnya, Selasa merupakan hari yang mewakili hari-hari yang digunakan Mitch
untuk mengunjungi profesor yang sedang sakit. Oleh karena itu, hari-hari penuh
dengan pelajaran tentang kehidupan. Buku ini melambangkan hari-hari terakhir Morrie
Schwartz dan bagaimana hari mengubah kehidupan Mitch melalui pelajaran yang ia
dapat dari dosennya. Barangkali, seperti Mitch, kita
kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya
kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan sesama manusia. Tidakkah kita ingin
bertemu dengannya lagi untuk mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan besar
yang masih menghantui kita, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari
sibuk kita dengan cara seperti ketika kita masih muda? Bagi Mitch Albom,
kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali
dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Oleh
karena itu, Mitch belajar banyak dari profesor. Untuk melambangkan pelajaran
melekat bahwa ia mencondongkan tubuhnya dari Morrie.
Mitch mengulang masa lalu melalui
penggunaan kilas balik. "... Kami
sudah tiga puluh lima tahun besahabat, anda tidak perlu berbicara atau
mendengar merasakannya, "(Mitch
71). Kilas balik digunakan tidak hanya membawa pembaca kembali ke latar
belakang cerita, tetapi juga menyebabkan konotasi yang sebenarnya dari
pengalaman Mitch. Keakraban
yang segera hidup kembali di antara guru dan murid itu sekaligus menjadi sebuah
“kuliah” akhir: kuliah tentang cara
menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan rinci
luar biasa seputar kebersamaan mereka. Mitch membuat kita
yakin bahwa dengan menghadirkan kilas balik dari masa lalu, pembaca dapat
menghargai kedalaman hubungan antara Mitch Albom dan Morrie Schwartz. Dalam
rangka kunjungan Albom, profesor mencatat bahwa "... saya tahu apa masalah yang dihadapi anak muda, jadi jangan
katakan itu berlebihan," (Mitch 117). Ini membawa keluar esensi
sebenarnya dari pelajaran Morrie untuk Albom. Mengutip, memanggil pengalaman
masa lalu dari profesor yang menggunakan pemahamannya untuk lulus pelajaran
penting untuk siswa.
Di sini kita menemukan banyak
kebijaksanaan dalam memilih penulis dari kilas balik untuk melengkapi narasi.
Pada titik tertentu ia menyatakan bahwa "Saya telah belajar banyak tentang pernikahan ini. Anda pun bisa diuji. Anda
mengetahui siapa diri anda, siapa orang lain, dan bagaimana anda
mengakomodasikannya atau tidak, "(Mitch 149). Mungkin ini adalah
pelajaran yang sangat signifikan bagi Albom yang berjuang dengan masalah
keluarga (Schwartz 11). Pada usia tertentu penulis telah mengabaikan
keluarganya untuk bekerja, berpikir bahwa kebahagiaan terakhirnya akan datang
dari pekerjaan. Profesor kemudian mengkonsolidasikan pelajarannya dengan
menyatakan bahwa, "Begitu banyak
orang berjalan dengan kehidupan berarti. Mereka tampak setengah tidur, bahkan
ketika mereka sedang sibuk melakukan hal yang mereka anggap penting. Hal ini
karena mereka mengejar hal yang salah. Cara anda mendapatkan arti dalam hidup
anda adalah untuk mengabdikan diri kepada orang lain, mencintai, mengabdikan
diri kepada masyarakat di sekitar anda, dan mengabdikan diri untuk menciptakan
sesuatu yang memberikanmu sebuah tujuan dan makna, "(Mitch 43).
Kemampuan Mitch untuk
menggabungkan penggunaan kilas balik dengan narasi cerita membuat pembaca untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam hubungannya dengan Morrie Schwartz. Oleh
karena itu, melalui pernyataan Morrie yang mengingat masa lalu, Mitch
memungkinkan pembaca untuk mendapatkan makna yang lebih dalam kehidupan. Dia
menyatakan bahwa, "Pada awal
kehidupan, ketika kita masih bayi, kita membutuhkan orang lain untuk bertahan
hidup, bukan?
Dan pada akhir hidup, ketika anda menemukan orang seperti saya, anda perlu
orang lain untuk bertahan hidup bukan? Tapi di sini rahasianya: di antara kita
membutuhkan orang lain juga "(Mitch 157).. Profesor ingat beberapa
pengalamannya yang Mitch gunakan untuk memberikan pemahaman rumit untuk seluruh
cerita. Akhirnya, seakan mengingat hari-hari awal, Morrie berkata "Bagaimana saya bisa iri dari keberadaan anda
– sedangkan saya pernah ke sana sendiri," (Mitch 121).
Upacara pemakaman Morrie
dilakukan ketika beliau masih segar bugar. Semua salam perpisahan, pesan kesan,
dan orbituari dari rekan dan kerabat disampaikan di hadapan Morrie yang bisa
mendengarkannya. Ini sangat berbeda dari upacara peringatan/pemakaman orang
lain dimana semua hal baik tentang seseorang disampaikan di hadapan jenasah
yang terbujur kaku dalam peti mati. Ini jugalah salah satu pembelajaran dalam
buku ini. Mitch dan Morrie berbicara tentang dunia, tentang semangat kasih,
tentang mengasihani diri sendiri, tentang cinta, budaya, dan banyak juga,
tentang maaf.
Kesimpulannya:
Selasa bersama Morrie. Mitch menyebutnya, kuliah terakhir dari
sang profesor, yang menjadikan hidupnya sendiri sebagai pembelajaran. walaupun
Morrie kehilangan kebebasannya; Ia tak lagi bisa berdansa all night long, Ia
tak bisa lagi mengajar di universitas, Ia tak bisa lagi leluasa membaca dan
berdialog. namun Ia malah mendapatkan “hal” yg lebih besar. Ia mendapatkan
“Makna Hidup” dan pada akhirnya, Ia meninggal dengan tidak sia-sia. Ia
meninggal dengan tenang, setelah kuliah akhir bersama sahabatnya berhasil
menelurkan tesis yang luar biasa. Dan dalam tesis itu, pesan penting Morrie
kepada dunia akhirnya tersampaikan….. bahwa HIDUP INI BERHARGA
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar