Hidup bukan sepermukaan bumi
napas tak searah angin
diri tak sewajah muka
duka tak separah nestapa
bahagia tabir rasa yang selalu rahasia
perempuan itu percaya
bahwa dia hidup
Aku dari tiada, menuju tiada, berbekal tiada, ngulati
wangsa
dan kembali ke tiada 1]
Arus Jangkuk mengalir deras dan lepas ke bibir
pantai, membelah jantung kota. Seorang perempuan tua keriput, mata menggua, dan
rambut tipis memutih sedang duduk seorang diri. Termenung menanti. Sesekali
bola matanya liar dan nyalang menyapu sepi. Bibirnya bergerak perlahan
melantunkan Tembang Kumambang:
Alhamdulillah sambatan panjak Dekaji
Tican kahuripan
Belelakon sembah puji
Tunas ride durus tunggak
Kampe-ampe kaji gusti mete bukti
Ngaule jari panjak
Kaji mesaq dalem diriq
Angenang diriq penggitan
Piran gamaq kaji gusti dait diriq
Bongoh jari panjak
Bute soal ilmu jati
Iman Islam tauhid ma’ripat.2]
Jaring-jaring masa dengan tarikan napas lemas,
dia rajut dan sulam tanpa cemas. Irama riak arus Jangkuk selalu setia
menghiburnya. Dia selalu menanti. Menanti baginya bukan sebuah bongkahan dari
suatu kebosanan yang menyiksa. Menanti baginya bukan sebuah paksaan dari sistem
mati yang meletihkan. Menanti baginya bukan suatu budaya pembodohan dari
perampasan demokrasi, harga diri, dan hak asasi. Akan tetapi, menanti baginya
adalah sebuah harapan suci yang lahir dari mimpi indah. Mimpi indah yang
terlewati dan telah dia terima selama sembilan ratus sembilan puluh sembilan
purnama.
Angin malam berenang-renang di antara riak-riak
Jangkuk dan sekali-kali menyapa dengan bisikan lembutnya sehingga membuat dia
bertambah percaya tentang makna dari sebuah penantian. Dia terus menanti.
Menanti di tepi kota. Menanti di ranjang berkutu tak bertuan. Menanti hingga
larut malam – siang hari tak terbatas.
Dia menanti di bawah pohon kamboja. Menanti
diselimuti gumpalan asap hitam dan bau kemenyan. Dia tak lapuk dalam menanti. Tak pupus dicerca,
dihina, dan disakiti sampai napas zaman berakhir. Semua itu karena harapan suci
itu. Janji itu. Sumpah itu. Mimpi indah itu. Noda itu. Dosa itu.
“Ampure, Dende Maria, Beli tidak
sengaja. Beli lepas kontrol. Maafkan Beli enggeh?,” kata
laki-laki itu.
“Maafnya tiang dan maafnya Beli
itu, tak mengapa. Tak ada maknanya untuk disesalkan atau untuk diperdebatkan.
Nasi sudah terlanjur gosong. Jiwa tiang bukan jiwa pohon johar
yang tidak mampu merasakan sebuah keikhlasan sejati dalam membagi rasa, dalam
persenggamaan antara ada dan makna, antara nasib dan kehidupan, antara
kemunafikan dan kejujuran,” jawab Dende Maria tulus.
Nampaknya insan dua tubuh dalam satu jiwa itu
tidak mempersoalkan arti noda itu dan dosa itu. Semua itu hanyalah mimpi buruk
yang tak perlu diterjemahkan maknanya dalam sebuah pendakian menuju pencarian
kebeningan hakikat suatu nilai dan makna sebuah harga diri.
Perjalanan panjang yang terkadang hanya memperpanjang
tanya yang menyesatkan dan meletihkan dalam selimut sutera yang telah
usang dan dikoyak waktu, terperangkap dalam jaring-jaring kepalsuan.
Terbelenggu dalam jubah hitam waktu tak pasti. Dicabik-cabik cakrawala dan
batarakala.
“Orok dalam rahimmu hampir genap tujuh purnama,
Dinde Maria. Selama itu pula Dende tak pernah berkata ganjil atau meminta
sesuatu dari Beli. Walau Dende ada keinginan untuk meminta. Itu memang
wajar-wajar saja. Yang tidak wajar justru seseorang yang menciptakan
dirinya sebuah institusi meminta-minta bukan untuk melayani. Dende pun sudah
tahu semua itu. Tahu bahwa Beli pun tidak memiliki sesuatu yang
berharga. Kecuali benih yang telah Beli taburkan dalam rahimmu itu. Beli
berharap agar Dende tak cepat menerima suatu pemberian karena adanya sesuatu.
Jangan sekali-kali cepat menerima hasutan –berprasangka yang bukan-bukan.
Apalagi orang itu masih asing di matamu. Jangan biarkan terlintas. Walaupun hal
itu sering terlintas dalam pikiran Beli. Sebab kita pun sudah terlalu
letih merenda samudera perjalanan yang panjang. Perjalanan dalam pencarian jati
diri tentang makna dan hikakat hidup kita baik di masa lalu, masa kini,
maupun entah juga masa yang akan datang.
Dende, semua ini Beli katakana
karena bukan adanya suatu permintaan darimu dan berusaha mencoba memaksa
dirimu untuk dapat mengerti. Tidak! Apalagi pekan-pekan ini Beli
terlibat dalam suatu kesibukan. Kesibukan itu pun bukan Beli yang
mengundang sehingga tak dapat disepelekan. Yakinlah akan hal itu!”
“Kesibukan napi nike Beli?”
“Untuk sementara tak ada seorang pun yang boleh
tahu. Tidak juga kau, Dende Mariaku. Namun, satu pesan Beli kurang
lebih dua purnama lagi anak kita bakalan lahir. Itu pun kalau dia
selamat Untuk itu, khabarkan secepatnya kepada mereka perihal anak
kita ini sebelum mereka nyerocos mempermainkan kata-kata dengan logikanya.
Sebab banyak di antara mereka tidak memiliki rasa malu, termasuk Pak RT
dan Pak RW kita.”
”Tentu Beli. Dende pun sudah memikirkan
akan hal itu. Sebab sekarang ini kita merasa kesulitan membedakan antara kawan
dengan lawan. Kadang-kadang Dende merasa sangsi dan khawatir terhadap jalan
pikiran mereka.”
”Tak mengapa kita khawatir. Akan tetapi, yang
terpenting adalah kewaspadaan. Kurang etis menuding mereka. Sebab mereka pun
menganggap apa yang dilakukannya semua benar. Sehingga banyak di antara mereka
itu selalu memperbudak suatu alasan untuk menutupi kesalahan. Bila kemenangan
dapat diraih tak pandai bersyukur dan bila kekalahan yang menghadangnya selalu
mempermainkan alasan-alasan tak berlogika.”
”Istigfar, Beli. Kian sumbang saja
bicaranya. Pamalik, Dende kan sedang mengandung. Sebaiknya kita
bicarakan tentang kelahiran anak kita. Dende takut akan masa depannya. Udara
segar dan langit yang kebiru-biruan bersih dan cerah kian berdebu dan mendung.
Polusi, erosi moral, dan krisis kepercayaan kian menebal. Alangkah baiknya
kepergian Beli ditunda.”
”Tidak! Beli harus pergi. Ini pun demi
masa depan anak kita. Satu lagi pesan Beli dan camkan!”
”Napi maliq nike Beli?”
”Orok yang bakalan lahir itu beri nama Jati
Swara, seandainya laki-laki. Tapi bila perempuan Dende saja yang memberikan
nama. Selanjutnya, didiklah. Jangan lupa tanamkan nilai-nilai agama. Itu
intinya hidup ini. Katakan pula kepadanya bila tidak penting, jangan banyak
berbicara kecuali memberi hormat atau salam kepada orang lain. Setiap ucapan
yang ke luar hendaknya dipertimbangkan terlebih dahulu. Itu kalau dia tidak mau
berterbangan bagai debu, hancur bagai lilin, dan berserakan bagai
kerikil-kerikil tajam. Masalah pendidikan formalnya, biarkan dia yang memilih,
memilah, dan memutuskan. Ingat jangan dimanja. Itu tidak baik. Dende hanya
mengarahkan selaku tut wuri handayani. Sikap seperti inilah dikatakan
demokratis dan dinamis. Pesan ini berlaku, seandainya Beli terlambat
pulang karena situasi dan kondisi yang tidak dapat memberikan peluang untuk
kembali. Dende pun harus dapat memaklumi akan hal ini .”
Sejak itu Dende Maria harus rela melepas
kepergian laki-laki itu. Dia ikhlas walau degan hati pecah dan berserakan.
Dia pun yakin bahwa laki-laki itu pergi bukan untuk membegal,
membentuk gerakan makar, teroris seperti kerap terjadi akhir-akhir ini atau pun
gerakan terlarang lainnya. Tidak! Apalagi pergi untuk sekedar pencarian
pelampiasan nafsu kelakiannya. Meski yang satu ini pernah dilakukan pada Dende
Maria. Darah suci Dende Maria disadapnya seperti menyadap air tuak
murni dan manis. Ketika itu Dende Maria terlalu dini mengenal rasa. Terlalu
dini melepas kepercayaan dan keputusan. Terlalu dini mengetahui area terlarang.
Terlalu dini mengetahui bau keringat laki-laki.
***
Dende Maria dikenal oleh kebanyakan orang seorang
gadis periang, cantik, luwes, dan tidak terlalu mempersoalkan status sosial.
Dia adalah putri semata wayang seorang mamiq yang memiliki pengaruh
besar dalam masyarakat dan birokrasi. Selain itu, dia keturunan menak
yang kaya raya. Namun semua itu bagi Dende Maria suatu hal yang bukan luar
biasa. Ikatan-ikatan karena perkara status dan jebakan-jebakan karekter yang
membelenggu membuat dia meninggalkan istana gemerlap. Meruntuhkan benteng adat
yang begitu kuat dan angker. Meruntuhkan harapan dari seorang mamiq
sebagai pewaris tahta masa depan.
Laki-laki itu sebagai pilihan Dende Maria bukan
sebuah penghinaan dan penghianatan terhadap krame adat gumi paer Sasak.
Apalagi sekedar untuk meruntuhkan kewibawaan dan harga diri mamiqnya.
Tidak! Keputusan Dende Maria merupakan sebuah kelahiran baru. Kelahiran dalam
sebuah pencarian. Pencarian sebuah jati diri. Dia ingin merdeka. Merdeka dalam
menemukan kehidupan baru. Sebuah kehidupan yang belum satu pun orang yang
pernah memasukinya : — dari kegelisahan menuju realita — dari kekosongan menuju
makna.
Dende Maria tetap bertahan dalam pencarian dan
pendakiannya dengan roda-roda waktu yang terus menggelinding — berputar —
melaju dahsat hingga dia terlempar ke area kian keruh dan gelap.
Kekeruhan itu muncul ketika energi tabir hitam itu menghadang dan menampar
wajah Dende Maria. Tamparan itu berasal dari sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang
membutuhkan sebuah jawaban. Pertanyaan itu tak lain datang dari seorang anak —
dari Jati Swara dewasa. Bukan dari seorang bocah yang masih dininabobokan.
Dende Maria sejak semula sudah menyadari jauh
sebelumnya akan muncul sebuah pertanyaan itu. Akan tetapi, apakah
kelahiran masih perlu untuk dipertanyakan? Atau untuk
diperdebatkan?
Kebeningan mata batin Dende Maria seketika keruh
berlumpur. Kehangatan dan hiporia seorang ibu atas kelahiran anak berguguran
dalam sebuah pijakan pendakian yang terjal dan licin.
Pertanyaan itu kian tajam, pekat, dan ganas.
Sebagai ibu, Dende Maria berat kiranya untuk menjawab. Berat kiranya
untuk tak manjawab. Percikan-percikan dosa sudah tak mampu untuk membebani
diri. Jati Swara pun tahu hal itu. Ia tidak mengharapkan sebuah jawaban yang
rabun ke luar dari mulut ibunya yang renta. Baginya kerabunan jawaban atau
ketidaktulusan dalam sebuah kejujuran merupakan bisa ular. Lambat laun akan
menggiring kepada maut dan keangkaramurkaan dalam jebakan penyesalan yang
panjang.
Dende Maria harus bersikap bijak meski ada rasa
yang mengganggu pikiran dalam pengambilan keputusan. Keputasan baginya
merupakan sebuah prinsip yang baku dan wajib dihormati. Dia berprinsip
bahwa dalam hidup ini tidak baik memberikan jawaban kepada orang yang
mampu untuk menjawab. Tidak baik memberikan jawaban kepada orang yang mampu
untuk mencari jawaban dengan logikanya. Selain itu, tidak ada diksi yang tepat
untuk pembelaan diri dan mencoba menciptakan jebakan penyimpangan dari sebuah
pertanyaan.
Penderitaan semakin mendera. Penderitaan semakin
menghanyutkan kebahagian — menggulung di antara riak-riak dan busa sungai
Jangkuk. Dende Maria ingin lari dan menikmati lelapnya tidur. Menikmati
tembang Asmaradana yang kerap dilantunkan oleh neneknya ketika
berlibur ke desa adat Rambitan tempat kelahiran mamiqnya. Membiarkan
anak tercinta mencari dan menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan itu.
”Jati Swara, anakku semata wayang. Bunda sudah
lama dirundung duka. Sudah sekian ratus purnama dalam penantian. Sudah sekian
ratus purnama dalam pencarian titian pijakan yang tepat menuju pintu kearipan.
Sebuah pintu yang di dalamnya ada seorang lelaki yang juga sedang menanti
dengan sejuta bongkahan kerinduan. Perjalanan terus Bunda lanjutkan tapi tak
satu pun negeri yang mampu menjawab ’di mana lelaki itu berada?’ Semua
menggeleng. Kadang-kadang pura-pura mereka ikut terlibat dalam kesedihan Bunda,
Nak! Bunda sudah tak sanggup lagi melanjutkan pencarian ini. Kemampuan Bunda
sudah sirna ditebas masa. Kegelisahan sudah tak mampu Bunda sembunyikan darimu.
Bunda percaya lelaki itu masih hidup. Lanjutkan pencarian dan pendakian menuju
pijakan pintu keabadian itu, Nak! Lanjutkan. Tidak ada yang salah di antara
kita. Di antara mereka. Ingat, tapaki perjalanan sunyi agar tidak terperangkap
oleh kesia-sian.”
”Maafkan anakmu Bunda. Jati Swara terlalu dalam
menggali sumur darah penderitaan yang mendera Bunda. Jati Swara berjanji akan
melanjutkan perjalanan ini. ’Aku dari tiada, menuju tiada, berbekal tiada,
ngulati wangsa, kembali ke tiada.’”
Dende Maria pun melanjukan penantiannya. Dia
menanti di bawah pohon kamboja. Menanti bersama gumpalan asap hitam dan bau
kemenyan. Menanti dengan untaian rambut tipis memutih. Mata menggua membelah
sepi dengan tatapan kosong dan kelam.
***
Penulis:
Halil Subagiono, S.Pd.
MAN 1 Praya
Jln. Pejanggik 05Telp.(0370)654154
Praya NTB 83511 HP (081907105001)
Glosarium
Ampure :
maaf
Air tuak :
air enau atau aren
Beli :
kakak
Johar :pohon
kayu sejenis mahoni
Krame adat gumi paer Sasak :
norma-norma adat tanah suku Sasak
Mamiq : ayah
membega :
merampok
menak : bangsawan
Napi malik nike : apa lagi
itu
Nggeh : ya
Ngulati wangsa : pejalanan sunyi;
pencarian jati diri
Pemalik : pantangan
Tiang : saya
1)Agus Fn dalam naskah drama Ngulati Wangsa
2)Naskah Kuno Tembang Kumambang :Alhamdulillah
puja hamba/ yang diberi kehidupan / anak wayang menghatur sembah/
mohon ridho menuju pangkal/ terombang ambing hamba gusti/ mengabdi sebagai
hamba/ merana dalam diri/ mengharap tajalli-Mu/ entah kapan hamba kenal diri/
Dungu melekat jadi tabiat/ buta soal ilmu/ iman Islam tauhid makrifat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar