Universitas Mataram yang akrab disebut Unram adalah
salah satu kampus negeri terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kampus yang
berada di kota Mataram ini bisa dikatakan kampus favorit bagi sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara
Barat. Tidak heran dengan cukup banyaknya pilihan jurusan yang ditawarkan,
kampus ini bisa mengungguli kampus – kampus lain yang ada di sekitarnya. Dan,
masyarakat pun banyak yang meyakini bahwa lulusan – lulusan yang dihasilkan
Universitas Mataram akan memberi sumbangan SDM (Sumber Daya Manusia) yang cukup
berkuwalitas bagi pembangunan di Nusa Tenggara Barat.
Pada awal Januari 2014 berdasarkan keputusan Rektor
Universitas Mataram, kampus ditutup untuk masyarakat umum yang tidak mempunyai
kepentingan. Mahasiswa, Dosen maupun karyawan yang bekerja di Universitas
Mataram wajib menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan atau kartu tanda
pengenal pegawai setiap kali akan memasuki area kampus Universitas Mataram. Alasannya,
agar kampus lebih aman dari berbagai tindakan kejahatan yang sering marak di
area kampus seperti pencurian kendaraan bermotor dan lain – lain. Selain itu, mereka
beralibi agar kampus terjaga kebersihannya dari para pedagang kaki lima yang
selama ini marak berjualan di Unram. Padahal, pernah suatu kejadian pencurian kendaraan
bermotor terjadi di parkiran kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) yang pencurinya sendiri ternyata merupakan salah satu mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Mataram. Kemudian soal kebersihan yang tidak terjaga karena
para pedagang kaki lima yang berkeliaran di sekitar jalan kampus itu bukan
merupakan kesalahan mereka sepenuhnya, tetapi itu kesalahan ‘kita’. Kita yang
sehabis ‘jajan’ lebih suka membuang sampah sembarang dari pada membuangnya ke
tempat sampah yang sudah di sediakan di setiap sudut kampus. Selain itu, jika kampus ini ‘terlalu bersih’ tentu para
‘Pasukan Hijau’ (Ibu-Ibu Tukang Sapu) yang bekerja di Universitas Mataram
menjadi sedikit ‘kurang kerjaan’ sehingga akan terlihat seperti makan gaji
buta.
Memang, setiap kebijakan akan mempunyai sisi positif
dan negatif. Sisi positifnya, orang-orang asing yang tidak berkepentingan dan
berpotensi mengganggu keamanan civitas akademik tidak akan bisa sembarangan
lagi memasuki area kampus. Sedangkan sisi negatifnya, jika ada mahasiswa yang
lupa membawa KTM haruskah dia kembali pulang hanya untuk mengambil kartu
tersebut? Tentu tidak, apa lagi jika mahasiswa itu sedang terburu-buru karena
ada kuliah atau ujian. Bahkan, jika mahasiswa tersebut berjalan kaki, tentu
akan merepotkan sekali untuk harus berdebat dengan security kampus hanya untuk memasuki kampusnya sendiri. Kebijakan
ini pun belum sepenuhnya efektif, masih banyak terlihat di area kampus
orang-orang asing, siswa sekolah menengah, pedagang asongan bahkan pengemis
yang berkeliaran. Entah dari mana mereka masuk, yang pasti kebijakan ini
memiliki sedikit keteledoran dari pelakunya.
Pagi hari, ketika jalanan sedang ramai-ramainya dapat
kita jumpai antrian mahasiswa dan pegawai yang dicegat satpam saat hendak
memasuki gerbang kampus Universitas Mataram. Sedangkan, di pintu keluar dengan
santai dan lenggangnya orang – orang
keluar tanpa pemeriksaan. Efektifkah? Hal ini kembali menjadi pertanyaan.
Dimana salah satu tujuan awalnya untuk mencegah adanya tindak kriminal curanmor
yang marak, justru pintu keluar yang lebih penting tidak dijaga dengan baik.
Bagaimana mungkin kita dapat menuduh mahasiswa yang sudah berangkat dari rumah
atau pun kost/ kontrakan berpakaian rapi terlebih menggunakan kendaraan sendiri
adalah pelaku kriminal? Tentu tidak semudah itu. Justru orang-orang yang keluar
dari wilayah kampus menggunakan kendaraan itu yang semestinya diperiksa. Apakah
ia membawa kendaraan sendiri, ataukah curian. Lalu dengan menggunakan kartu
tanda mahasiswa atau tanda pegawai pun tidak menjamin seseorang itu adalah
orang baik-baik. Pernah saya ketika datang ke kampus di depan gerbang
menunjukkan KTM pada bagian yang menunjukkan foto dan data diri saya. Namun
apakah yang terjadi, satpam itu menggeleng dan meminta saya membalikkan kartu
yang disana tertera logo Universitas Mataram. Dari sini pun saya menarik
kesimpulan bahwa, satpam - satpam ini
hanya menerima kartu yang ada logo Universitas Mataram-nya saja tanpa peduli
tentang keaslian identitas si pemilik kartu tersebut.
Sebenarnya, jika memang ingin menghindari pencurian
kendaraan tidak akan efektif dengan hanya menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa
atau Kartu Tanda Pegawai Universitas Mataram. Baiknya, dengan menunjukkan Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) akan lebih menjamin kemanan kendaraan
yang keluar maupun masuk area kampus. Dengan menunjukkan STNK setidaknya jelas
kepemilikan sepeda motor tersebut, entah pemilik asli atau pinjaman yang diberi
izin membawanya. Akan tetapi jika pemeriksaan itu dilakukan di depan gerbang
masuk Universitas Mataram nampaknya masih akan sedikit sulit. Efektifnya, jika
pemeriksaan dilakukan di pintu masuk dan keluar masing-masing fakultas.
Sehingga, dengan demikian pemeriksaan dapat dibagi – bagi pada setiap satpam
yang ada di fakultas. Ya, paling tidak hal tersebut tidak akan membuat satpam –
satpam Unram sendiri kerepotan sebab harus ‘mencegat’ setiap orang yang akan
memasuki wilayah Universitas Mataram.
Ketertutupan Universitas Mataram untuk umum selain
civitas akademik juga banyak dikeluhkan masyarakat sekitar. Pernah pada bulan –
bulan awal kebijakan ini dimulai masyarakat melakukan aksi ‘demo’ di depan
gerbang sebelah utara Universitas Mataram yang berakhir ricuh dengan perdebatan
yang terjadi antara masyarakat dan satpam kampus hingga masuk surat kabar pula.
Betapa tidak, banyak masyarakat yang tinggal di sekitaran area kampus yang
menjadikan Universitas Mataram ladang bisnis dengan membuka usaha warung makan,
foto copy, print dan sebagainya menjadi lebih sedikit pemasukannya.
Dikarenakan, jika mahasiswa ingin berbelanja atau membeli jasa, mereka harus
memutar cukup jauh untuk sampai ke lokasi yang biasanya mudah dijangkau,
sehingga mahasiswa pun menjadi malas dan enggan untuk keluar masuk kampus yang
terlebih lagi harus ‘dicegat’ satpam tiap kali keluar masuk, contohnya saja
portal depan Fakultas Pertanian dan Peternakan. Di jalan kecil yang tidak
panjang tersebut merupakan pusat foto copy dan print terbesar di Kelurahan
Gomong. Ada pula warung makan yang menyediakan berbagai makanan dari yang paling
murah sampai yang cukup mahal. Akses ke tempat itu mulanya sangat mudah, dengan
berjalan kaki pun dapat didatangi. Namun, semenjak Universitas Mataram menutup
auratnya rapat – rapat jangankan menggunakan sepeda motor, dengan berjalan kaki
pun tidak mungkin sebab gerbang sudah ditutup rapat dan digembok membuat jarak
yang terlihat begitu dekat menjadi sangat jauh. Ibarat kata orang pacaran, “kau begitu dekat namun tak mampu kuraih”.
Memang, ada kantin dan foto copy di kampus, bahkan di
setiap fakultas rata – rata memilikinya. Namun ketika tempat itu sedang ramai –
ramainya banyak diantara kita yang
kadang malas mengantri terlalu lama, berbeda jika kita di luar yang begitu
banyak pilihan tempat. Jika yang satu ramai, masih ada yang lain yang lebih
lenggang, sehingga keperluan kita akan lebih cepat selesai dan efisiensi waktu
pun tidak terbuang. Tertutupnya gerbang – gerbang Universitas Mataram selain
gerbang utama pun juga membuat mahasiswa yang kost di dekat kampusnya akan
memutar jauh. Contohnya saja mahasiswa yang kost di sekitar Gomong Lawata,
wilayah yang dekat dengan kampus Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas
Peternakan, MIPA dan UPT. Pada awalnya mereka hanya perlu berjalan sedikit
untuk datang ke tempat – tempat tersebut, namun setelah gerbang – gerbang di
sekitarnya ditutup mereka dengan terpaksa harus memutar melewati gerbang utama
sebelah utara di depan Arena Budaya Universitas Mataram. Sekali lagi, efisiensi
kebijakan tersebut dipertanyakan. Keamanan? Ya, barang tentu memang sedikit
membaik meski tidak benar – benar baik. Pencurian helm di parkiran saja
misalnya masih kerap terjadi meski agak jarang. Pelakunya tentu orang dalam,
mahasiswa atau siapa barangkali yang berada di area kampus. Bukan menuduh, tapi
bukti sebelumnya menjelaskan bahwa komplotan pencuri ternyata juga berasal dari
kalangan mahasiswa dan pelajar. Lalu bagaimana solusinya jika orang dalam pun
menusuk dari dalam? Bagaimana kinerja para satpam yang bertugas di setiap
parkiran fakultas maupun universitas? Kita memang tidak bisa menyalahkan mereka
sepenuhnya dengan melihat parkiran yang cukup luas dan hanya dijaga oleh dua
orang satpam seperti yang ada di FKIP. Mahasiswa - mahasiswanya pun tidak bisa
diberitahu, mereka kerap ‘nongkrong’ di parkiran, duduk diatas motor beramai –
ramai. Jika terjadi kehilangan tanpa ketahuan pelakunya, siapa lagi yang akan
disalahkan? Satpam kah? Atau manajemen kampus kah?
Untuk menciptakan keamanan di kampus Universitas
Mataram tidak cukup dengan hanya kebijakan tertutupnya kampus untuk umum, namun
juga perlu kesadaran dari masing – masing pihak untuk saling mengawasi
lingkungan sekitar kampus. Bukan maksud untuk saling mencurigai, tidak! Akan
tetapi jika ada sesuatu yang mencurigakan setiap kita sadar untuk mengawasinya,
dan jika kita sendiri yang mendekati kesalahan tersebut cobalah untuk
menghindarinya. Seperti ‘nongkrong’ di parkiran misalnya, kantin dan tempat
duduk di area kampus kan sudah ada, disediakan untuk kita. Tempat berdiskusi
sambil ‘ngopi’, berinternet ria dan sebagainya. Tidak pelu lah kiranya kita
mendekati tempat – tempat yang akan berakibat terjadinya kecurigaan seperti
parkiran, apatah lagi jika ketika ‘nongkrong’ di parkiran itu kita duduk di
atas motor orang lain. Sadar, saling peduli terhadap keamanan dan kenyamanan
bersama menjadi kunci utama untuk menjaga ketenteraman civitas akademik kita.
Tertutupnya kampus Universitas Mataram untuk
masyarakat umum selama beberapa minggu di awal tahun 2014 juga sempat mendapat
sorotan publik. Sejumlah media cetak yang ada di NTB pun mengumpulkan berita
tentang ‘musibah’ tersebut. Bahkan, masyarakat dunia maya pun ikut andil
berbicara tentang tertutupnya kampus Universitas Mataram. Misalkan, sejumlah
akun facebook juga ikut berbicara soal dinamika kampus tersebut di timeline atau bahkan di grup – grup tertentu.
Entah pandangan siapa disini yang harus dibenarkan, namun seperti kata Soe Hok
Gie, "apakah ada yang lebih puitis, selain bicara tentang kebenaran?"
Ya, jikalau kita terus membahas siapa yang benar dan siapa yang salah, tak
ubahnya seperti kita berpuisi picisan nan gombal ala anak – anak ‘ABG Labil’. Keputusan
telah ditetapkan, dirubah? Mungkin saja terjadi. Dari setiap kritik yang masuk
kepada jajaran rektoran, alangkah baiknya Bapak Rektor yang terhormat tersebut
mempertimbangkan kembali kebijakan otonom yang telah ia buat, atau paling tidak
memperbakinya dengan berdiskusi dengan para mahasiswa, dosen ataupun tokoh
masyarakat sekitar. Paling tidak, jangan sampai ada yang merasa dirugikan
nantinya. Kita semua ingin aman, ingin nyaman, bukan? Barang tentu semua itu
dapat terlaksana jika kita bekerjasama. Suatu kedamaian dalam suatu wilayah
akan terbentuk dengan sistem yang baik berdasarkan musyawarah dan keputusan
bersama.
Saya akui, memang kampus Universitas Mataram mau
meniru apa yang ada di kampus – kampus besar di luar sana, misalnya di Jawa. Namun
perbedaan karakteristik kultural masyarakatnya pun harus dipertimbangkan. Masyarakat
luar sana sudah tentu berbeda penanaman budi pekertinya dengan disini, ajaran
serta tata kramanya walaupun pada dasarnya setiap budaya kedaerahan mengajarkan
hal yang baik. Tetapi kita tahu sendiri orang – orang yang ada di Lombok ini,
keras, gengsi tinggi dan selalu mau menang sendiri. Bukan hendak menjelek –
jelekkan, saya sendiri orang Lombok asli mengakui hal ini. Untuk kepentingan
bersama memang susah menemukan titik temunya, terutama ketika arogansi sepihak
merajalela. Dan kini, ketika banyak pihak masyarakat yang menentang kebijakan
kampus Universitas Mataram yang telah ‘tutup aurat’, akankah kampus ini masih
menjadi favorit di kalangan masyarakat?
Banyak yang membuat saya prihatin atau mungkin lebih
bisa disebut kasihan dengan tertutupnya kampus Universitas Mataram. Tak perlu
jauh – jauh memandang ke para PKL (Pedagang Kaki Lima) yang sering melintas dan
nongkrong di pinggir jalan kampus. Lihat
saja Kantin Mitha yang bersebelahan dengan FKIP, mereka gulung tikar, kantin
tak lagi buka, tak ada foto copy atau tempat berbelanja seperti sebelumnya. Bukan
karena mereka kehabisan modal, tetapi nampak jelas disana pintu masuk gang yang
biasanya dilewati untuk masuk ke Kantin Mitha telah ditembok sehingga tidak ada
akses sama sekali untuk keluar masuk kembali kesana. Yang paling menyedihkan
yakni mahasiswi yang menyewa kost disana, mereka harus memutar cukup jauh
melewati kampus IKIP Mataram untuk sampai di kampus (katakanlah FKIP) yang
bersebelahan dengan tempat tinggalnya. Bukan itu saja, dari awal sudah saya
paparkan, selain Kantin Mitha yang bersebelahan dengan FKIP, banyak tempat kost
serta tempat makan yang merugi karena hal ini. Lalu siapa yang diuntungkan? Barangkali
tidak ada. Keamanan? Ya, nampak lebih kondusif meski hanya sedikit. Sebab yang
namanya aturan seperti ini biasanya hanya hangat – hangat tai sapi. Pada awalnya
saja, pada awal – awal bulannya saja satpam – satpam itu akan gencar mencegat
kita di depan gerbang Universitas Mataram, atau ketika para pejabat kampusnya
sedang memperhatikan. Terlepas dari semua itu, anda bisa tetap bebas keluar
masuk dengan melihat satpam yang asyik sendiri membaca Koran sambil merokok dan
ngopi. Atau melihat mereka bergosip tentang sesuatu yang ‘lucu?’ Dan lihat saja
nanti ketika anda memasuki salah satu fakultas, entah dari mana datangnya
pengemis, anak – anak kecil, bahkan pedagang masker berkeliaran di sekitar
situ. Efektifkah?
Tulisan ini memang tampak bergurau, hanya bisa nyinyir
dengan solusi yang sudah basi dan tak berisi. Namun setidaknya segala curahan
isi hati dan ketidaksetujuan saya dengan kebijakan otonomi yang diterapkan
kampus Universitas Mataram sepaham dengan apa yang teman – teman dan masyarakat
lainnya rasakan. Kita memang butuh perubahan sistem keamanan dan kenyamanan,
tetapi setidaknya perubahan itu mampu dinikmati setiap kalangan.
Terimakasih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar